Selasa, 30 Juni 2009

Ibu dan Anak 02

Sabtu sore itu aku tiba di rumah mereka sekitar jam 17.00, dan ketika masuk ke rumah hanya ada Cindy, keponakanku yang baru berumur tiga belas tahun dan duduk di kelas dua SLTP. Ibunya, Vivi, sedang pergi arisan di rumah temannya sejak jam 12.00 siang tadi dan menurut Cindy baru akan kembali sekitar jam delapan malam, seperti biasanya. Ayah Cindy adalah seorang teman karibku yang telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas di luar kota, dan sejak itu aku sering mengunjungi keluarga ini untuk menghibur agar mereka tidak terlalu merasa kesepian.

Kehidupan mereka ditopang oleh ibu Cindy, yang bekerja di sebuah perusahaan asing sebagai sekretaris dan kelihatannya mereka dapat hidup berkecukupan. Vivi, ibu Cindy telah lama kenal denganku dan kami sering pergi bertiga kemana-mana bila ada waktu luang, dan tanpa terasa aku seolah telah menjadi pengganti kepala keluarga mereka. Keduanya sangat manja kepadaku sehingga seringkali aku merasa seolah berada di tengah keluarga sendiri bila sedang bersama mereka, dan terutama Cindy yang kukenal sejak lahir, walaupun telah berumur tiga belas tahun tapi ia tidak segan untuk duduk di pangkuanku bila menginginkan sesuatu dariku.

Setibanya di rumah mereka, aku segera menuju ke kamarku yang memang selalu mereka sediakan untukku dan kemudian aku mandi untuk menghilangkan rasa lelah. Selesai mandi aku berpakaian santai, baju kaos dan celana pendek, lalu menonton TV di ruang tengah dimana Cindy berada dari tadi. Aku duduk di sofa dan Cindy duduk di sampingku dengan kedua kaki dilipat disofa, ia hanya memakai daster rumah saja karena hari itu adalah akhir minggu, sehingga ia tidak mempunyai tugas sekolah.

Kami menonton acara mengenai kehidupan sebuah keluarga yang tidak memiliki ayah lagi, sehingga si ibu harus bekerja keras untuk menghidupi dirinya dan kedua anaknya yang masih bersekolah, dan di tengah keasyikan kami menonton Cindy berkata.
"Oom, kasihan ya keluarga itu, Ibunya mesti kerja keras untuk sekolah anak-anaknya!"
"Ya Cindy, begitulah orang tua, selalu mendahulukan kepentingan anak, kamu untung memiliki Mama yang bekerja dengan penghasilan cukup, sehingga kalian tidak kekurangan." jawabku.
"Iya Oom, Cindy juga merasa beruntung masih ada Oom yang mau memperhatikan kami, kalau enggak entah bagaimana nasib kami." ujar Cindy lagi.
"Oom 'kan sudah kenal kamu sejak lahir, masa Oom mau lupa sama kalian, apalagi Mama juga baik sama Oom!" jawabku menimpali.

"Iya Oom, tapi Cindy sekarang 'kan sudah besar Oom, sudah tiga belas tahun, maunya Oom jangan menganggap Cindy seperti anak kecil lagi dong!" ujarnya manja.
"Lho.., maksudmu bagaimana..? Kan Oom juga memperlakukan Cindy sebagai seorang anak gadis sekarang?" aku menjawab.
"Betul Oom? Cindy sudah Oom anggap seperti seorang gadis?" ia menyela dengan nada riang.
"Iya, betul dong, masa Oom akan menganggap kamu seperti anak kecil terus! 'Kan kamu sekarang sudah besar, tubuhmu juga sudah tumbuh menjadi seorang gadis!" aku menjawab.

Cindy rupanya merasa senang sekali dengan jawabanku, lalu sambil mendekatkan tubuhnya padaku ia mengatakan sesuatu yang membuatku terkejut.
"Kalau begitu Oom mesti anggap Cindy sebagai seorang gadis ya, enggak boleh anggap Cindy sebagai keponakan lagi. Benar ya Oom!"
Walaupun tidak mengerti maksudnya, aku hanya mengangguk saja sambil terus menonton TV, dan Cindy menyandarkan tubuhnya kepadaku. Kepalanya disandarkan di dadaku lalu ia berkata.
"Oom, sebenarnya Cindy dan Mama sering membicarakan Oom, kami ingin Oom turut dalam kegiatan pribadi Cindy dan Mama supaya lengkap!"

Aku tambah tidak mengerti dan bertanya, "Apa maksudmu dengan kegiatan pribadimu dengan Mama?"
"Begini Oom, tapi janji ya Oom tidak akan marah?" aku mengangguk berjanji.
"Sebetulnya Mama dan Cindy 'kan sering bermain seks karena tidak ada hiburan kalau sudah malam, apalagi kalau sudah sepi!"
Aku terkejut bukan main mendengar penjelasannya yang tidak disangka-sangka itu, dan di tengah keingin tahuanku, aku bertanya lagi padanya.
"Maksudmu apa sih Cindy? Masa kamu main seks dengan Mama? 'Kan sama-sama wanita?"
"Iya Oom, Mama yang ngajarin Cindy sejak setengah tahun yang lalu, waktu Cindy baru naik kekelas dua, terus Mama kasih hadiah itu. Cara-cara main seks dengan Mama! Tapi Mama bilang permainan itu akan lebih seru lagi kalau ada pasangan pria, jadi permainannya bisa lebih lengkap! Oom enggak marah 'kan Cindy ceritain begitu?"

Aku sungguh tidak menduga bahwa Vivi telah menggunakan anaknya sendiri untuk mengatasi keinginan seksnya setelah ditinggalkan suami selama tiga tahun, aku dapat mengerti bahwa Vivi membutuhkan penyaluran untuk kebutuhan biologisnya, tetapi bahwa ia mempergunakan anaknya sungguh-sungguh di luar dugaanku. Dan tanpa kusadari Cindy kini telah duduk di pangkuanku sambil memelukkan kedua tangannya ke leherku dan berkata lembut.

"Oom enggak percaya ya..? Mari Cindy tunjukin sama Oom bahwa Cindy juga sudah bisa bermain seks sama lelaki.. 'kan Mama suka ceritain caranya sama Cindy kalau kami lagi asyik berdua di kamar Mama..!"
Lalu ia mulai mencium mulutku dengan lembut dan terasa lidahnya menjulur keluar dan menyelip masuk ke mulutku, lalu menjilati seluruh bagian dalam mulutku. Aku memang mulai terangsang oleh ulah keponakanku ini, apalagi aroma tubuhnya yang harum itu membuatku terhanyut dalam keadaan ini, namun aku berusaha melepaskan ciumannya dan bertanya dalam keterengahan nafasku yang memburu.

"Lalu kalau kamu sedang main sama Mama, bagaimana caranya supaya kalian berdua bisa mencapai klimaks..?"
Sementara itu Cindy mulai melepaskan kancing atas dasternya, sehingga kedua buah dadanya yang mungil dapat kulihat dengan putingnya yang berwarna merah jambu.
"Biasanya sih Cindy dan Mama suka cara enam sembilan Oom, tapi kadang-kadang kami pakai dildo juga Oom supaya lebih seru, karena bisa klimaks terus selama dildonya masih jalan..!"
"Jadi kalau begitu kamu sudah tidak perawan lagi..?" aku bertanya dengan bodohnya.
"Ya enggak lagi dong Oom.. bagaimana sih Oom ini..!" Cindy menjawab sambil melepas kancing dasternya yang terakhir, lalu ia berdiri dari pangkuanku dan mulai melepaskan t-shirtku.

Kemudian ia merebahkan diriku di sofa dan melepaskan celana pendek serta celana dalamku. Kini kami berdua sudah telanjang bulat, aku terbaring di sofa dan Cindy menelungkupkan tubuhnya di atasku dan mulai lagi menciumi mulutku. Kali ini dengan bernafsu sekali! Nafsuku mulai memuncak, penisku mulai mengeras diantara gesekan kedua pahanya yang putih dan lembut itu serta tekanan kedua buah dadanya yang mungil membuat nafsuku semakin memuncak, walaupun aku masih membayangkan bahwa gadis yang sekarang berada di atas tubuhku adalah keponakanku yang kukenal sejak ia lahir ke dunia ini. Sungguh tidak masuk akal tetapi sekarang sedang terjadi sebuah peristiwa yang tidak pernah terbayang sebelumnya..!

Cindy mengulum mulutku dengan ahli dan penuh nafsu. Aku tak dapat menguasai diriku lagi dan mulai membalas kumulannya dengan penuh nafsu pula. Aku mulai menghisap mulutnya dan lidahku pun masuk ke mulutnya dan menjilati seluruh bagian dalam mulutnya. Punggungnya kuusap lembut dengan kedua tanganku, lalu usapan tanganku semakin turun ke arah pinggulnya dan akhirnya sampai ke pangkal pahanya yang lembut sekali dan terasa olehku Cindy membuka kedua pahanya, sehingga tanganku leluasa bermain mengelus-elus diantara kedua pahanya. Dan akhirnya tanganku tiba pada vaginanya yang sudah basah.. masih belum berbulu.

Aku memasukkan jariku sedikit ke dalam vaginanya dan terasa bagaimana vagina yang mungil itu berdenyut lembut pada jariku. Ini membuatku semakin bernafsu dan akhirnya aku sudah tak memikirkan apa-apa lagi, tubuhnya kuangkat dari tubuhku dan Cindy kugendong menuju kamarnya.

Setibanya di kamar aku segera membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, lalu aku berbaring di sampingnya sambil memandang kedua buah dadanya yang kecil mungil. Dan dengan perlahan mulutku mulai mengisap puting dadanya yang sebelah kiri, lembut dan harum. Aku menghisapnya lebih kuat dan terdengar Cindy merintih lirih.
"Aduuhh Oom.. terus Oom.. isap yang kuat Ooomm.. aduuhh.. teruuss Ooomm.. aduuhh..!"
Aku semakin tak kuasa menahan nafsuku ketika terasa tangan Cindy menggenggam penisku yang sudah tegang dan keras dan mulai mengocoknya dengan lembut.

Aku sendiri masih terus menghisap buah dadanya, sementara tangan kiriku terus mengelus dan mengusap vaginanya yang sudah sangat basah. Kedua pahanya sudah terbuka lebar. Lalu mulutku pindah ke buah dadanya yang kanan dan menghisap dengan kuat sampai seluruh dagingnya masuk ke dalam mulutku. Nafas Cindy terengah-engah dan rintihannya terus terdengar lemah.
"Aduuhh Ooom.. teruuss Ooomm.. adduuhh.. aadduuhh.. teruuss Ooomm..!" tubuhnya yang mungil menggelinjang tidak karuan menahan kenikmatan yang dirasakannya.
Remasan tangannya pada penisku bertambah kuat dan cepat.

Aku merasa bahwa Cindy sudah hampir mencapai klimaksnya. Tangannya yang meremas-remas penisku terasa menarik penisku ke arah vaginanya. Aku sendiri sudah tidak dapat menguasai diri lagi. Tubuhku mengikuti tarikan tangan Cindy, dan akhirnya aku sudah berada di antara kedua pahanya yang terbuka lebar dan ujung penisku terasa menyentuh vaginanya, hangat dan basah serta berdenyut.
Cindy kembali merintih, "Ayoo Ooomm.. masukin sekarang Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. ayoo Ooomm.. aadduuhh..!"

Aku menekan sedikit dan terasa kepala penisku masuk ke dalam vaginanya yang agak sempit. Denyutan vaginanya terasa lembut meremas kepala penisku. Aku menekan lagi dan terus menekan sampai akhirnya seluruh penisku telah masuk dan terasa remasan vaginanya yang begitu lembut bagai sutera membuatku tidak dapat menahan nafsuku lagi dan aku mulai mengeluar-masukkan penisku dengan gerakan lambat diikuti oleh gerakan pinggul Cindy yang memutar. Dan kami berdua segera asyik dalam sanggama yang pertama bagi aku dan Cindy, gadis berusia tiga belas tahun ini.

Aku terus memompa Cindy dengan gerakan lambat dan panjang, sedangkan gerakan pinggulnya yang memutar-mutar mulai terasa tidak beraturan lagi. Cindy sudah semakin dekat pada klimaksnya, kedua tangannya memeluk tubuhku dengan eratnya. Nafasnya terengah-engah, tubuh kami bercucuran keringat. Kami semakin asyik dalam sanggama yang nikmat ini. Denyutan vaginanya yang sempit terasa semakin cepat dan kuat, rintihannya juga semakin kuat.
"Aadduuhh Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh.. Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. lagii Ooomm.. aadduuhh.. ayoo Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh..!"

Aku sendiri semakin bernafsu dan mulai tak dapat menguasai gerakanku lagi. Aku memompa Cindy semakin cepat dan kuat. Cindy sendiri sudah begitu asyik dengan kenikmatan yang dirasakannya. Pinggulnya memutar dengan tidak beraturan lagi. Nafasnya mendengus dan rintihannya semakin kuat pula.
"Ayoo Ooomm.. lebih cepat Ooomm.. Cindy sudah mau keluaar.. aadduuhh.. mau keluaarr.. aadduuhh.. Cindy keluar Ooomm.. keluaarr.. aadduuhh..!"

Tubuh Cindy menggelinjang hebat. Kedua tangannya memelukku erat sekali dan tiba-tiba tubuhnya menyentak kuat, lalu menggelinjang hebat saat Cindy tiba dan meledak dalam orgasme yang begitu dahsyat pada puncak klimaksnya yang nikmat luar biasa. Yang terdengar hanya rintihannya.
"Cindy keluar.. keluaarr.. hah.. hah.. aadduuhh.. keluaarr.. aadduuhh..!"
Dan tubuhnya terus menggelinjang sementara aku terus memompanya dengan cepat. Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku.

Rintihan klimaks Cindy membuat nafsuku semakin memuncak dan aku terus memompa dengan cepat. Aku sudah merasa hampir tiba pada klimaksku. Aku semakin dekat dan penisku terasa semakin besar dan besar dan akhirnya aku tak kuasa menahannya lagi. Dan penisku meledak bergumpal-gumpal di tengah kenikmatan remasan vagina Cindy yang lembut luar biasa. Tubuhku menegang sebentar, kemudian aku tersentak-sentak tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang diberikan oleh vagina Cindy yang meremas lembut penisku. Tubuh kami saling menyentak dan menggelinjang dalam kenikmatan luar biasa yang kami rasakan sebelum akhirnya kami berdua terkulai lemas dengan nafas terengah-engah dan keringat membasahi tubuh kami dan aku masih tetap berada di atas tubuh Cindy dengan penisku di dalam vaginanya yang masih berdenyut lemah.

Setelah beberapa saat, Cindy mulai menciumi wajahku sambil berkata, "Aduuhh Oom.. Oom hebat sekali ya.. baru ini Cindy merasakan orgasme yang begitu hebat.. hebat Oom..!"
Aku hanya diam saja dan kemudian mencabut penisku dari vaginanya, dan berbaring di sampingnya. Tubuh kami berkeringat dan terasa lemah setelah klimaks yang luar biasa tadi. Untuk beberapa saat kami beristirahat, lalu aku bangun dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Cindy kemudian menyusulku di kamar mandi dan akhirnya kami mandi bersama-sama di bawah siraman shower yang hangat.

Kami saling menyabuni tubuh kami, dan ketika aku menyabuni Cindy, tanganku tiba pada daerah dadanya dan dengan lembut aku menyabuni kedua buah dadanya. Aku merasa terangsang oleh kelembutan kedua buah dadanya yang mungil itu. Tanganku terus mengusap dan meremas kedua buah dadanya dengan sabun, dan tiba-tiba kurasakan tangan Cindy menyabuni penisku dengan amat lembutnya. Rupanya kami sama-sama terangsang dengan permainan sabun ini. Penisku mulai mengeras lagi dalam genggaman tangan Cindy yang terus menyabuninya dengan sedikit remasan-remasan lembut.

Aku semakin terangsang, dan penisku semakin keras dan panjang, sementara Cindy masih terus meremasnya dengan tangannya yang lembut bersabun. Dan tanpa sadar tiba-tiba aku sudah terduduk di lantai kamar mandi dan bersandar ke dinding. Cindy berlutut di hadapanku dengan tangan terus mengocok penisku yang sudah tegang sekali. Siraman air hangat dari shower telah menghanyutkan semua sabun di tubuh kami. Tubuh Cindy kuraih dan kupeluk, lalu buah dadanya kuhisap dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak. Kedua putingnya kuhisap bergantian dan tanganku kembali mengelus di antara kedua pahanya, dan ternyata vaginanya sudah basah lagi. Jariku terus mengelus lembut vaginanya yang basah.

Cindy kembali membuka kedua pahanya lebih lebar sambil terus mengocok penisku dengan tangannya yang lembut. Aku tak dapat menahan gejolak nafsuku lagi, lalu aku berdiri dan mematikan shower, kemudian tubuh Cindy kukeringkan dengan handuk, dan setelah itu Cindy mengeringkan tubuhku. Lalu kami menuju ke kamarnya dan berbaring lagi di tempat tidurnya.

Kini tubuh Cindy yang berada di atas tubuhku dengan kedua paha terbuka lebar. Tanganku terus mengelus vaginanya yang basah sekali, sementara Cindy menghisap mulutku dengan bernafsu. Lalu tubuhnya kuangkat, aku duduk di tempat tidur dan Cindy kududukkan di pangkuanku dengan kedua pahanya di samping tubuhku dan mulai menghisap kedua buah dadanya dengan kuat sampai tubuh Cindy tersentak-sentak, sementara tanganku yang lain terus mengelus vaginanya. Tangan Cindy terus meremas-remas penisku yang sudah tegang dan besar sekali. Rintihan Cindy mulai terdengar.
"Aduuhh Ooom.. aadduuhh.. isap teruuss Oom.. isap yang kuat Ooomm.. lagii.. lagii.. aadduuhh..!"

Tubuh kami kembali berkeringat dalam pergumulan ini. Aku terus menghisap kedua buah dadanya bergantian, dan tanganku juga terus mengelus vaginanya yang sudah basah sekali. Rupanya Cindy tak dapat menguasai dirinya lagi, tubuhnya tak henti-hentinya menyentak dan menggeliat, sementara mulutku tak lepas dari kedua buah dadanya yang mungil lembut itu. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, lalu menurunkan vaginanya tepat pada penisku dan dengan sekejap penisku telah masuk seluruhnya ke vaginanya yang berdenyut basah disertai rintihan lirihnya.
"Ayoo Ooomm.. Cindy enggak tahan lagi.. aadduuhh Ooomm.. ayoo Ooomm.. aduuhh..!"

Dan Cindy mulai menggerakkan tubuhnya naik turun dengan liar, sementara aku terus saja menghisap kedua buah dadanya bergantian yang membuat Cindy semakin bernafsu. Rintihan Cindy terdengar semakin kuat.
"Aadduuhh Ooomm.. aadduuhh.. Cindy enggak tahan lagi Ooomm.. aadduuhh.. aadduuhh.. Ooomm..!"
Gerakan Cindy semakin kuat dan denyutan vaginanya semakin kuat pula. Aku mulai terbawa oleh irama nafsu Cindy yang sudah memuncak. Aku menghisap kedua buah dadanya lebih kuat. Penisku terasa semakin panjang dan besar di tengah remasan vaginanya yang begitu lembut. Kami begitu asyik dalam pergumulan seks ini dan sudah tak dapat menguasai diri kami lagi.
Nafas kami terengah-engah dengan keringat membasahi sekujur tubuh. Gerakan Cindy semakin cepat dan cepat, sementara denyutan vaginanya juga terasa semakin kuat. Kami sudah tidak perduli dengan keadaan di sekitar kami.
"Aadduuhh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh.. mau keluar Ooomm.. aadduuh Ooomm.. Cindy mau keluaarr.. aadduuhh..!"
Aku juga merasa semakin dekat dengan klimaksku. Rasanya aku pun tak dapat menahannya lagi, dan pada saat itu aku merebahkan tubuhku dengan Cindy tetap berada di atasku. Kedua pahanya yang lembut halus terbuka lebar dan aku mulai memompa Cindy dengan cepat.

Tiba-tiba tubuh Cindy menyentak kuat lalu menggelinjang hebat, dan terdengar rintihan nikmatnya.
"Aadduuhh Ooomm.. Cindy keluaarr.. aadduuhh.. keluaarr.. Ooomm.. aadduuhh..!"
Cindy meledak dalam puncak orgasmenya yang nikmat luar biasa disertai gelinjang tubuh yang menyentak-nyentak dan gigitan kuat pada bahuku. Aku juga sudah dekat sekali dengan klimaksku. Penisku rasanya membesar dan membengkak di antara remasan kuat vaginanya yang begitu lembut. Aku tak dapat menahannya lagi. Dan akhirnya.. tak dapat kutahan lagi.

Penisku meledak bergumpal-gumpal dalam orgasme yang nikmat luar biasa yang membuat tubuhku menyentak dan menggelepar-gelepar di tengah kenikmatan luar biasa remasan vagina Cindy yang begitu lembut. Aku masih terus memompa Cindy dengan cepat dan kuat, sementara tubuh kami berdua menggelepar-gelepar tidak karuan tak dapat menahan kenikmatan luar biasa yang kami alami saat itu. Sampai akhirnya kami terkulai lemah dengan Cindy tetap berada di atas tubuhku dan penisku masih berada di dalam vaginanya yang masih terus berdenyut-denyut lemah. Dan akhirnya kami tertidur lelap dalam kelelahan setelah mengalami klimaks yang nikmat luar biasa tadi.
Kategori : Sedarah

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku menurunkan badanku secara perlahan-lahan dan ketika melewati dadanya kembali kuciumi serta kujilati payudara ibu mertuaku yang sudah tidak terlalu keras lagi, setelah beberapa saat kuciumi payudara ibu, aku segera menurunkan badanku lagi secara perlahan sedangkan ibu mertuaku meremas-remas rambutku, juga terasa seperti berusaha mendorong kepalaku agar cepat-cepat sampai ke bawah. Kuciumi dan kujilati perut dan pusar ibu sambil salah satu tanganku kugunakan untuk menurunkan CD-nya. Kemudian dengan cekatan ku lepas CD-nya dan kulemparkan ke atas lantai. Kulihat vagina ibu mertuaku begitu lebat ditumbuhi bulu-bulu yang hitam mengitari liang vaginanya. Mungkin karena terlalu lama aku menjilati perut dan sekitarnya, kembali kurasakan tangan ibu yang ada di kepalaku menekan ke bawah dan kali ini kuikuti dengan menurunkan badanku pelan-pelan ke bawah dan sesampainya di dekat vaginanya, kuciumi daerah di sekitarnya dan apa yang kulakukan ini mungkin menyebabkan ibu tidak sabaran lagi, sehingga kudengar suara ibu mertuaku, "Nak Suur.., toloong.., cepaat.., saa.., yaang.., ayoo.., Suur".

Tanpa kujawab permintaannya, aku mulai melebarkan kakinya dan kuletakkan badanku di antara kedua pahanya, lalu kusibak bulu vaginanya yang lebat itu untuk melihat belahan vagina ibu dan setelah bibir vagina ibu terlihat jelas lalu kubuka bibir kemaluannya dengan kedua jari tanganku, ternyata vagina ibu mertuaku telah basah sekali. Ketika ujung lidahku kujilatkan ke dalam vaginanya, kurasakan tubuh ibu menggelinjang agak keras sambil berkata, "Cepaat.., Suur.., ibu sudah nggak tahaan".

Dengan cepat kumasukkan mulut dan lidahku ke dalam vaginanya sambil kujilati dan kusedot-sedot dan ini menyebabkan ibu mulai menaik-turunkan pantatnya serta bersuara, "sshh.., aahh.., Suur.., teruus.., adduuhh.., enaak.., Suur", Lalu kukecup clitorisnya berulang kali hingga mengeras, hal ini membuat ibu mertuaku menggelinjang hebat, "Aahh.., oohh.., Suur.., betuul.., yang itu.., Suur.., enaak.., aduuh.., Suur.., teruskaan.., aahh", sambil kedua tangannya menjambak rambutku serta menekan kepalaku lebih dalam masuk ke vaginanya. Kecupan demi kecupan di vagina ibu ini kuteruskan sehingga gerakan badan ibu mertuaku semakin menggila dan tiba-tiba kudengar suara ibu setengah mengerang, "aahh.., ooh.., duuh.., Suur.., ibuu.., mau.., mauu.., sampaii.., Naak.., ooh", disertai dengan gerakan pantatnya naik turun secara cepat.

Gerakan badannya terhenti dan yang kudengar adalah nafasnya yang menjadi terengah-engah dengan begitu cepatnya dan tangannyapun sudah tidak meremas-remas rambutku lagi, sementara itu jilatan lidahku di vagina ibu hanya kulakukan sekedarnya di bagian bibirnya saja. Dengan nafasnya yang masih memburu itu, tiba-tiba ibu mertuaku bangun dan duduk serta berusaha menarik kepalaku seraya berkata, "Naak Suur.., ke sinii.., saayaang", dan tanpa menolak kuikuti saja tarikan tangan ibu, ketika kepalaku sudah di dekat kepalanya, ibu mertuaku langsung saja memelukku seraya berkata dengan suara terputus-putus karena nafasnya yang masih memburu, "Suur.., Ibu puas dengan apa yang Nak Suur.., lakukan tadi, terima kasiih.., Naak". Ibu mertuaku bertubi-tubi mencium wajahku dan kubalas juga ciumannya dengan menciumi wajahnya sambil kukatakan untuk menyenangkan hatinya, "Buu.., saya sayang Ibuu.., saya ingin ibu menjadi.., puu..aas".

Setelah nafas ibu sudah kembali normal dan tetap saja masih menciumi seluruh wajahku dan sesekali bibirku, dia berkata, "Naak Suur.., Ibu masih belum puas sekali.., Suur.., toloong puasin ibu sampai benar-benar puaas.., Naak", seraya kurasakan ibu merenggangkan kedua kakinya. Karena aku masih belum memberikan reaksi atas ucapannya itu, karena tiba-tiba aku terpikir akan istriku dan yang kugeluti ini adalah ibu kandungnya, aku menjadi tersadar ketika ibu bersuara kembali, "Sayaang.., ayoo.., toloong Ibu dipuasin lagi Suur, tolong masukkan punyamu yang besar itu ke punya ibu".
"Buu.., seharusnya saya tidak boleh melakukan ini.., apalagi kepada Ibuu", sahutku di dekat telinganya.
"Suur.., nggak apa-apa.., Naak.., Ibu yang kepingin, lakukanlah Naak.., lakukan sampai Ibu benar-benar puas Suur", katanya dengan suara setengah mengiba.

"aahh.., biarlah, kenapa kutolak", pikirku dan tanpa membuang waktu lagi aku lalu mengambil ancang-ancang dan kupegang penisku serta kuusap-usapkan di belahan bibir vagina ibu mertuaku yang sudah sedikit terbuka. Sambil kucium telinga ibu lalu kubisikkan, "Buu.., maaf yaa.., saya mau masukkan sekarang, boleh?".
"Suur.., cepat masukkan, Ibu sudah kepingin sekali Naak", sahutnya seperti tidak sabar lagi dan tanpa menunggu ibu menyelesaikan kalimatnya aku tusukkan penisku ke dalam vaginanya, mungkin entah tusukan penisku terlalu cepat atau karena ibu katanya sudah lama tidak pernah digauli oleh suaminya langsung saja beliau berteriak kecil, "Aduuh.., Suur.., pelan-pelan saayaang.., ibu agak sakit niih", katanya dengan wajah yang agak meringis mungkin menahan rasa kesakitan. Kuhentikan tusukan penisku di vaginanya, "Maaf Buu.., saya sudah menyakiti Ibu.., maaf ya Bu". Ibu mertuaku kembali menciumku, "Tidak apa-apa Suur.., Ibu cuma sakit sedikit saja kok, coba lagi Suur..", sambil merangkulkan kedua tangannya di pungungku.

"Buu.., saya mau masukkan lagi yaa dan tolong Ibu bilang yaa.., kalau ibu merasa sakit", sahutku. Tanpa menunggu jawaban ibu segera saja kutusukkan kembali penisku tetapi sekarang kulakukan dengan lebih pelan. Ketika kepala penisku sudah menancap di lubang vaginanya, kulihat ibu sedikit meringis tetapi tidak mengeluarkan keluhan, "Buu.., sakit.., yaa?". Ibu hanya menggelengkan kepalanya serta menjawab, "Suur.., masukkan saja sayaang", sambil kurasakan kedua tangan ibu menekan punggungku. Aku segera kembali menekan penisku di lubang vaginanya dan sedikit terasa kepala penisku sudah bisa membuka lubang vaginanya, tetapi kembali kulihat wajah ibu meringis menahan sakit. Karena ibu tidak mengeluh maka aku teruskan saja tusukan penisku dan, "Bleess", penisku mulai membongkar masuk ke liang vaginanya diikuti dengan teriakan kecil, "Aduuh.., Suur", sambil menengkeramkan kedua tangannya di punggungku dan tentu saja gerakan penisku masuk ke dalam vaginanya segera kutahan agar tidak menambah sakit bagi ibu.
"Buu.., sakit yaa..? maaf ya Buu". Ibu mertuaku hanya menggelengkan kepalanya.
"Enggak kok sayaang.., ibu hanya kaget sedikit saja", lalu mencium wajahku sambil berucap kembali, "Suur.., besar betul punyamu itu".

Pelan-pelan kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku yang terjepit di dalam vaginanya keluar masuk dan ibupun mulai menggoyang-goyangkan pantatnya pelan-pelan sambil berdesah, "sshh.., ooh.., aahh.., sayaang.., nikmat.., teruuskan.., Naak", katanya seraya mempercepat goyangan pantatnya. Akupun sudah mulai merasakan enaknya vaginan ibu dan kusahut desahannya, "Buu.., aahh.., punyaa Ibu juga nikmat, buu", sambil kuciumi pipinya.

Makin lama gerakanku dan ibu semakin cepat dan ibupun semakin sering mendesah, "Aah.., Suurr.., ooh.., teruus.., Suur". Ketika sedang nikmat-enaknya menggerakkan penisku keluar masuk vaginanya, ibu menghentikan goyangan pantatnya. Aku tersentak kaget, "Buu.., kenapa? apa ibu capeek?", Ibu hanya menggelengkan kepalanya saja, sambil mencium leherku ibu berucap, "Suur.., coba hentikan gerakanmu itu sebentar".
"Ada apa Buu", sahutku sambil menghentikan goyangan pantatku naik turun.
"Suur.., kamu diam saja dan coba rasakan ini", kata ibu tanpa menjelaskan apa maksudnya dan tidak kuduga tiba-tiba terasa penisku seperti tersedot dan terhisap di dalam vagina ibu mertuaku, sehingga tanpa sadar aku mengatakan, "Buu.., aduuh.., enaak.., Buu.., teruus Bu, ooh.., nikmat Buu", dan tanpa sadar, aku kembali menggerakkan penisku keluar masuk dengan cepat dan ibupun mulai kembali menggoyangkan pantatnya.
"ooh.., aah.., Suur.., enaak Suur", dan nafasnya dan nafaskupun semakin cepat dan tidak terkontrol lagi.

Mengetahui nafas Ibu serta goyangan pantat Ibu sudah tidak terkontrol lagi, aku tidak ingin ibu cepat-cepat mencapai orgasmenya, lalu segera saja kuhentikan gerakan pantatku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya yang menyebabkan ibu mertuaku protes, "Kenapa.., Suur.., kok berhenti?", tapi protes ibu tidak kutanggapi dan aku segera melepaskan diri dari pelukannya lalu bangun.

Tanpa bertanya, lalu badan ibu mertuaku kumiringkan ke hadapanku dan kaki kirinya kuangkat serta kuletakkan di pundakku, sedangkan ibu mertuaku hanya mengikuti saja apa yang kulakukan itu. Dengan posisi seperti ini, segera saja kutusukkan kembali penisku masuk ke dalam vagina ibu mertuaku yang sudah sangat basah itu tanpa kesulitan. Ketika seluruh batang penisku sudak masuk semua ke dalam vaginanya, segera saja kutekan badanku kuat-kuat ke badan ibu sehingga ibu mulai berteriak kecil, "Suur.., aduuh.., punyamu masuk dalam sekali.., naak.., aduuh.., teruus sayaang.., aah", dan aku meneruskan gerakan keluar masuk penisku dengan kuat. Setiap kali penisku kutekan dengan kuat ke dalam vagina ibu mertuaku, ibu terus saja berdesah, "Ooohh.., aahh.., Suur.., enaak.., terus, tekan yang kuaat sayaang".

Aku tidak berlama-lama dengan posisi seperti ini. Kembali kehentikan gerakanku dan kucabut penisku dari dalam vaginanya. Kulihat ibu hanya diam saja tanpa protes lagi dan lalu kukatakan pada ibu, "Buu.., coba ibu tengkurap dan nungging", kataku sambil kubantu membalikkan badan dan mengatur kaki ibu sewaktu nungging, "Aduuh.., Suur.., kamu kok macem-macem sih", komentar Ibu mertuaku. Aku tidak menanggapi komentarnya dan tanpa kuberi aba-aba penisku kutusukkan langsung masuk ke dalam vagina ibu serta kutekan kuat-kuat dengan memegang pinggangnya sehingga ibu berteriak, "Aduuh Suur, ooh", dan tanpa kupedulikan teriakan ibu, langsung saja kukocok penisku keluar masuk vaginanya dengan cepat dan kuat hingga membuat badan ibu tergetar ketika sodokanku menyentuh tubuhnya dan setiap kali kudengar ibu berteriak, "ooh.., ooh.., Suur", dan tidak lama kemudian ibu mengeluh lagi, "Suur.., Ibu capek Naak.., sudaah Suur.., Ibuu capeek", dan tanpa kuduga ibu lalu menjatuhkan dirinya tertidur tengkurap dengan nafasnya yang terengah-engah, sehingga mau tak mau penisku jadi keluar dari vaginanya.

Tanpa mempedulikan kata-katanya, segera saja kubalik badan ibu yang jatuh tengkurap. Sekarang sudah tidur telentang lagi, kuangkat kedua kakinya lalu kuletakkan di atas kedua bahuku. Ibu yang kulihat sudah tidak bertenaga itu hanya mengikuti saja apa yang kuperbuat. Segera saja kumasukkan penisku dengan mudah ke dalam vagina ibu mertuaku yang memang sudah semakin basah itu, kutekan dan kutarik kuat sehingga payudaranya yang memang sudah aggak lembek itu terguncang-guncang. Ibu mertuaku nafasnya terdengar sangat cepat, "Suur.., jangaan.., kuat-kuat Naak.., badan ibu sakit semua", sambil memegang kedua tanganku yang kuletakkan di samping badannya untuk menahan badanku.

Mendengar kata-kata ibu mertuaku, aku menjadi tersadar dan teringat kalau yang ada di hadapanku ini adalah ibu mertuaku sendiri dan segera saja kehentikan gerakan penisku keluar masuk vaginanya serta kuturunkan kedua kaki ibu dari bahuku dan langsung saja kupeluk badan ibu serta kuucapkan, "Maaf.., Buu.., kalau saya menyakiti Ibu, saya akan mencoba untuk pelan-pelan", segera saja ibu berucap, "Suur nggak apa-apa Nak, tapi Ibu lebih suka dengan posisi seperti ini saja, ayoo.., Suur mainkan lagi punyamu agar ibu cepat puaas".
"Iyaa.., Buu.., saya akan coba lagi", sahutku sambil kembali kunaik-turunkan pantatku sehingga penisku keluar masuk vagina ibu dan kali ini aku lakukan dengan hati-hati agar tidak menyakiti badan ibu, dan ibu mertuakupun sekarang sudah mulai menggoyangkan pantatnya serta sesekali mempermainkan otot-otot di vaginanya, sehingga kadang-kadang terasa penisku terasa tertahan sewaktu memasuki liang vaginanya.

Ketika salah satu payudara ibu kuhisap-hisap puting susunya yang sudah mengeras itu, ibu mertuaku semakin mempercepat goyangan pinggulnya dan terdengar desahannya yang agak keras diantara nafasnya yang sudah mulai memburu, "oohh.., aahh.., Suur.., teruus.., ooh", seraya meremas-remas rambutku lebih keras. Akupun ikut mempercepat keluar masuknya penisku di dalam vaginanya.

Goyangan pinggul ibu mertuakupun semakin cepat dan sepertinya sudah tidak bisa mengontrol dirinya lagi. Disertai nafasnya yang semakin terengah-engah dan kedua tangannya dirangkulkan ke punggungku kuat-kuat, ibu mengatakan dengan terbata-bata, "Nak Suur.., aduuh.., Ibuu.., sudaah.., ooh.., mauu kelluaar". Aku sulit bernafas karena punggungku dipeluk dan dicengkeramnya dengan kuat dan kemudian ibu mertuaku menjadi terdiam, hanya nafasnya saja yang kudengar terengah-engah dengan keras dan genjotan penisku keluar masuk vaginanya. Untuk sementara aku hentikan untuk memberikan kesempatan pada ibu menikmati orgasmenya sambil kuciumi wajahnya, "Bagaimana.., Buu?, mudah-mudahan ibu cukup puas.

Ibu mertuaku tetap masih menutup matanya dan tidak segera menjawab pertanyaanku, yang pasti nafas ibu masih memburu tetapi sudah mulai berkurang dibanding sebelumnya. Karena ibu masih diam, aku menjadi sangat kasihan dan kusambung pertanyaanku tadi di dekat telinganya, "Buu.., saya tahu ibu pasti capek sekali, lebih baik ibu istirahat dulu saja.., yaa?", seraya aku mulai mengangkat pantatku agar penisku bisa keluar dari vagina ibu yang sudah sangat basah itu. Tetapi baru saja pantatku ingin kuangkat, ternyata ibu mertuaku cepat-cepat mencengkeram pinggulku dengan kedua tangannya dan sambil membuka matanya, memandang ke wajahku, "Jangaan.., Suur.., jangan dilepas punyamu itu, ibu diam saja karena ingin melepaskan lelah sambil menikmati punyamu yang besar itu mengganjal di tempat ibuu, jangaan dicabut dulu.., yaa.., sayaang", terus kembali menutup matanya.

Mendengar permintaan ibu itu, aku tidak jadi mencabut penisku dari dalam vagina ibu dan kembali kujatuhkan badanku pelan-pelan di atas badan ibu yang nafasnya sekarang sudah kelihatan mulai agak teratur, sambil kukatakan, "Tidaak.., Buu.., saya tidak akan mencabutnya, saya juga masih kepingin terus seperti ini", sambil kurangkul leher ibu dengan tangan kananku. Ibu hanya diam saja dengan pernyataanku itu, tetapi tiba-tiba penisku yang sejak tadi kudiamkan di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina ibu mertuaku, dan tanpa sadar aku mengaduh, "Aduuh.., ooh.., Buu".
"Kenapa.., sayaang.., enaak yaa?", sahut ibu sambil mencium bibirku dengan lembut dan sambil kucium hidungnya kukatakan, "Buu.., enaak sekalii", dan seperti tadi, sewaktu ibu mertuaku mula-mula menjepit dan menyedot penisku dengan vaginanya, secara tidak sengaja aku mulai menggerakkan lagi penisku keluar masuk vaginanya dan ibu mertuakupun kembali mendesah, "ooh.., aah.., Suur.., teruus.., naak.., aduuh.., enaak sekali".

Semakin lama gerakan pinggul ibu semakin cepat dan kembali kudengar nafasnya semakin lama semakin memburu. Gerakan pinggul ibu kuimbangi dengan mempercepat kocokan penisku keluar masuk vaginanya. Makin lama aku sepertinya sudah tidak kuat untuk menahan agar air maniku tetap tidak keluar, "Buu.., sebentar lagi.., sayaa.., sudaah.., mau keluaar", sambil kupercepat penisku keluar masuk vaginanya dan mungkin karena mendengar aku sudah mendekati klimaks, ibu mertuakupun semakin mempercepat gerakan pinggulnya serta mempererat cengkeraman tangannya di punggungku seraya berkata, "Suur.., teruuss.., Naak.., Ibuu.., jugaa.., sudah dekat, oohh.., ayoo Suur.., semproot Ibuu dengan airmuu.., sekaraang".
"Iyaa.., Buu.., tahaan", sambil kutekan pantatku kuat-kuat dan kami akhiri teriakan itu dengan berpelukan sangat kuat serta tetap kutekan penisku dalam-dalam ke vagina ibu mertuaku. Dalam klimaksnya terasa vagina ibu memijat penisku dengan kuat dan kami terus terdiam dengan nafas terengah-engah.

Setelah nafas kami berdua agak teratur, lalu kucabut penisku dari dalam vagina ibu dan kujatuhkan badanku serta kutarik kepala ibu mertuaku dan kuletakkan di dadaku.Setelah nafasku mulai teratur kembali dan kuperhatikan nafas ibupun begitu, aku jadi ingat akan tugas yang diberikan oleh istriku.
"Buu.., apa ini yang menyebabkan ibu selalu marah-marah pada Bapak..?", tanyaku.
"Mungkin saja Suur.., kenapa Suur?", Sahutnya sambil tersenyum dan mencium pipiku.
"Buu.., kalau benar, tolong ibu kurangi marah-marahnya kepada Bapak, kasihan dia", ibu hanya diam dan seperti berfikir.
Setelah diam sebentar lalu kukatakan, "Buu.., sudah siang lho, seraya kubangunkan tubuh ibu serta kubimbing ke kamar mandi.

Setelah peristiwa ini terjadi, ibu seringkali mengunjungi rumah kami dengan alasan kangen cucu dan anaknya Mur, tetapi kenyataannya ibu mertuaku selalu mengontakku melalui telepon di kantor dan meminta jatahnya di suatu motel, sebelum menuju ke rumahku. Untungnya sampai sekarang Istriku tidak curiga, hanya saja dia merasa aneh, karena setiap bulannya ibunya selalu mengunjung rumah kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

apa kesan saat anda membaca blog saya nie?...